BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penilaian status gizi dengan biokimia
adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada
berbagai macam jaringan tubuh, seperti darah, urine, tinja, serta hati dan
otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan
terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.
Pemeriksaan biokimia dalam penilaian
status gizi membeerikan hasil yang lebih tepat dan objektif daripada menilai
konsumsi pangan dan pemeriksaan lain. Pemeriksaan biokimia yang sering
digunakan adalah teknik pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan substansi
kimia lain dalam darah dan urine. Hasil pengukuran tersebut kemudian dibandingkan dengan standar normal
yang telah ditetapkan.
Salah satu contoh penilaian status gizi
dengan menggunakan pemeriksaan biokimia adalah penilaian status zat besi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
gambaran umum zat besi?
2. Apakah
akibat dari defisiensi zat besi?
3. Bagaimana
metode penilaian status besi dengan menggunakan pemeriksaan biokimia?
BAB
II
GAMBARAN
UMUM ZAT BESI
A.
Definisi
dan Sumber Zat Besi
Zat
besi adalah suatu komponen dari berbagai enzim yang mempengaruhi seluruh reaksi
kimia yang penting di dalam tubuh. Besi juga merupakan komponen dari hemoglobin,
yang memungkinkan sel darah merah membawa oksigen dan mengantarkannya ke
jaringan tubuh.
Zat
besi banyak terkandung di dalam produk hewani terutama daging merah, telur
serta ikan. Selain itu zat besi juga banyak terkandung di dalam berbagai jenis
kacang-kacangan seperti kacang kedelai dan kacang hijau serta pada berbagai
jenis sayuran dan juga buah-buahan. Adapun kandungan zat besi yang terdapat
dalam beberapa bahan makanan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 Kandungan Zat Besi dalam Beberapa Bahan
Makanan
Bahan Makanan
|
Zat Besi (mg/100g)
|
Hati
Daging
Sapi
Ikan
Telur
Ayam
Kacang-kacangan
Tepung
Gandum
Ssayuran
Hijau Daun
Umbi-umbian
Buah-buahan
Beras
Susu
Sapi
|
6,0
- 14,0
2,0
- 4,3
0,5
- 1,0
2,0
- 3,0
1,9
- 14,0
1,5
- 7,0
0,4
- 18,0
0,3
- 2,0
0,2
- 4,0
0,5
- 0,8
0,1
- 0,4
|
B.
Jenis
dan Penyerapan Zat Besi
Zat
besi yang berada dalam makanan terdiri dari 2 jenis yaitu jenis heme dan non-heme.
Zat besi heme merupakan pembentuk hemoglobin dan mioglobin, terbanyak terdapat
pada daging, ikan dan unggas serta olahan darah. Sedangkan jenis makanan yang
non-heme terdapat pada makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Selain hal
tersebut zat besi juga banyak terdapat pada makanan yang berasal dari eksogen
yaitu berupa debu, tanah, air ataupun panci tempat memasak. Bentuk lainnya yang
berasal dari eksogen terdapat dalam makanan seperti gandum, gula dan garam yang
telah difortifikasi dengan zat besi.
Penyerapan
zat besi dimulai dengan pengangkutan zat besi melalui sel-sel mukosa dan dalam
darah. Zat besi heme hanya sebesar 5-10% dari besi yang dikonsumsi namun
diserap 25% lebih besar dibandingkan dengan non-heme yang hanya 5%. Penyerapan
dapat meningkat sampai 50% pada mereka yang mengalami kekurangan besi.
Kecepatan penyerapan zat besi ini dibawah kontrol mukosa usus dan dipengaruhi
oleh jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh serta zat kimianya.
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi, antara lain:
1. Faktor
yang memacu penyerapan, seperti vitamin C (asam askorbat), daging, unggas, ikan
dan makanan laut lainnya, pH yang rendah (mis: asam laktat) serta keadaan
fisiologis seperti kehamilan dan pertumbuhan.
2. Faktor
yang menghambat penyerapan, seperti tannin pada teh, bahan yang mengandung
fitat, tingkat keasaman lambung, meningkatnya pergerakan usus serta rendahnya
digesti lemak.
C.
Kebutuhan
Zat Besi dalam Tubuh
Kebutuhan
zat besi pada seseorang sangat tergantung pada usia dan jenis kelamin.
Khususnya pada wanita subur (wanita hamil), bayi dan anak-anak lebih beresiko
untuk untuk menglami anemia zat besi daripada orang lain. Berikut ini adalah
tabel kebutuhan zat besi berdasarkan zat besi yang terserap menurut umur dan
jenis kelamin:
Tabel 2.2 Kebutuhan Zat Besi Menurut Umur/Jenis
Kelamin
Usia/Jenis Kelamin
|
µg/kg/hari
|
mg/hari
|
4 – 12 bulan
13 – 24 bulan
2 – 5 tahun
6 – 11 tahun
12 – 16 tahun(wanita)
12 – 16 tahun
(lelaki)
lelaki dewasa
wanita menyusui
wanita haid
wanita
pasca menopause
|
120
56
44
40
40
34
18
24
42
18
|
0,96
0,61
0,70
1,17
2,02
1,82
1,14
1,31
2,38
0,96
|
Kebutuhan
zat besi pada wanita lebih banyak daripada laki-laki karena mereka mengalami
menstruasi yang datang bulanan. Namun demikian wanita mmpu mengabsorpsi zat
besi lebih efisien asalkan makanan lainnya cukup beragam seperti daging, ikan
dan sumber vitamin C.
Kekurangan
zat besi pada seseorang akan diambilkan dari zat besi cadangan yang ada dalam
tubuh namun jika cadangan ini terus menurun maka tubuh akan mengalami
kekurangan zat besi yang berlarut-larut dan perlu penanganan segera. Kehilangan
zat besi dapat terjadi karena:
1. Kehilangan
besi basal
Kehilangan
yang terjadi ini berlangsung tiap hari dan dapat berasal dari keringat, urine,
saluran pencernaan dan empedu. Pada laki-laki kehilangan besi basalnya lebih
besar disbanding wanita karena memilki luas permukaan tubuh yang lebih kecil.
2. Kehilangan
zat besi karena menstruasi
Semakin
banyak jumlah menstruasi pada seorang wanita maka jumlah zat besi yang hilang
dari tubuh juga cukup besar. Kehilangan darah ini berbeda-beda untuk tiap orang
yang sanfat tergantung pada keturunan, dan besar tubuh.
Faktor
lainnya adalah jenis penggunaan alat kontrasepsi yang digunakan seperti IUD
akan lebih benyak kehilangan darah dibandingkan dengan pemakaian kontraspesi
oral.
Kebutuhan
tubuh pada wanita hamil lebih banyak karena selain untuk memenuhi kebutuhan
besi basal juga untuk memnuhi kebutuhna plasenta serta janin yang dikandungnya.
Dengan semakin bertambahnya umur kehamilan maka kebutuhan zat besi juga semakin
meningkat.
Kebutuhan
zat besi pada setiap trimester berbeda-beda. Pada awal kehamilan kebutuhan zat
besi masih normal bahkan lebih rendah karena tidak mengalami menstruasi dan
janin belum membutuhkan banyak zat besi. Pada trimester kedua kebutuhan zat
besi meningkat dan akan lebih meningkat lagi pada trimester ketiga seiring
bertambahnya kebutuhan zat besi untuk janin yang dikandungnya. Kebutuhan zat
besi tersebut tidak dapat dipernuhi hanya dari makanan yang dikonsumsi saja
tetapi juga harus ditambahkan dari luar yaitu melalui suplemen tablet besi .
Berbagai
pantangan yang diisukan turun menurun kadang dapat memperburuk kondisi ibu
hamil. Pantangan-pantangan tersebut antara lain: wanita hamil dilarang makan daging,
ikan, hati atau atau makanan lainnya dengan alasan yang tidak mendasar.
Pada
wanita menyusui kadar zat besi dalam ASI sebesar 0,5 mg/l dan setelah 4-6 bulan
akan turun menjadi 0,3 mg/l. Walaupun demikian cukup rendah masih diimbangi
dengan bioavalabilitas yang tinggi. Semakin bertambah usianya maka absorpsi
akan semakin bertambah. Selama menyusui kehilangan zat besi tidak begitu banyak
namun demikian masih dilaporkan kekurangan zat besi menyusui khususnya neghara
berkembang.
Pada
bayi, dapat mengabsoprsi lebih banyak zat besi yang ada dalam ASI sedangkan
kalau dalam susu sapi hanya antara 10 – 12 %. Namun demikian bayi yang telah
berumur lebih dari 4-6 bulan masih harus mendapatkan tambahan zat besi karena
sudah tidak cukupnya kandungan zat besi tersebut.
Makanan
tambahan untuk bayi juga harus memnuhi kabutuhan zat besinya karena ASI dan
susu formula tidak lagi menyediakan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain
itu juga harus cukup mengandung vitamin C yang membantu penyerapan zat besi.
Kekurangan
zat besi selain pada bayi juga cukup rawan untuk balita. Hal ini lebih banyak
disebabkan oleh karena konsumsi makanan anak yang kurang dari yang seharusnya
mereka konsumsi. Selain karena pada usia tersebut anak-anak juga cukup rawan
karena mudah terinfeksi penyakit cacing tambang. Hal ini mudah terjadi pada
anak-anak yang tidak senang menggunakan alas kaki. Faktor lain yang cukup
berpengaruh adalah kuatnya budaya di negara kita dimana keluarga lebih senang
menyediakan konsumsi makanan hewani dengan memprioritaskan pada bapaknya
setelah itu anak baru kemudian ibunya.
D.
Fungsi
Zat Besi
Zat
besi (Fe) merupakan jenis mineral mikro esensial yang mempunyai fungsi penting
di dalam tubuh. Zat besi mempunyai fungsi
penting di dalam tubuh antara lain sebagai media transportasi bagi
oksigen dari paru-paru ke berbagai jaringan tubuh serta juga akan berfungsi sebagai katalis dalam
proses perpindahan energi di dalam sel. Sebagai jenis mineral mikro esensial,
kekurangan zat besi di dalam tubuh
dapat mengakibatkan beberapa dampak
negatif antara lain berkurangnya kekebalan tubuh, menurunnya daya konsentrasi, menurunnya daya ingat, menurunnya performa belajar, mudah marah, berkurangnya nafsu makan, dan menurunnya kebugaran tubuh.
Di
dalam tubuh, fungsi utama zat besi adalah
dalam produksi komponen pembawa
oksigen yaitu hemoglobin dan mioglobin. Hemoglobin terdapat di dalam sel darah
merah dan merupakan protein yang berfungsi untuk untuk mengangkut oksigen
ke berbagai jaringan-jaringan tubuh. Sedangkan
mioglobin terdapat di dalam sel otot dan berfungsi untuk menyimpan dan
mendistribusikan oksigen ke dalam sel-sel otot. Selain berfungsi untuk memproduksi hemoglobin dan mioglobin,
zat besi juga dapat tersimpan di dalam protein feritin, hemosidirin di dalam
hati, serta di dalam sumsum tulang belakang. Sebagai indikator level jumlah zat
besi di dalam tubuh, feritin yang
bersirkulasi di dalam darah dapat
digunakan untuk menilai status
zat besi di dalam tubuh.
E.
Akibat
Defisiensi Zat Besi
Perdarahan
yang mengakibatkan hilangnya zat besi dari tubuh menyebabkan kekurangan zat
besi yang harus diobati dengan pemberian zat besi tambahan.
Kekurangan
zat besi juga bisa merupakan akibat dari asupan makanan yang tidak mencukupi.
Kekurangan seperti ini sering terjadi selama kehamilan karena sejumlah besar
zat besi harus disediakan ibu untuk pertumbuhan janin yang akhirnya menyebabkan
anemia defisiensi besi pada ibu hamil tersebut. Anemia karena kekurangan zat
besi juga bisa terjadi pada remaja putri yang sedang tumbuh dan mulai mengalami
siklus menstruasi, jika mereka mengkonsumsi makanan yang tidak mengandung
daging.
Defisiensi
besi biasanya terjadi secara perlahan melalui beberapa tingkatan sebelum
menjadi anemia. Tahap pertama, simpanan besi di dalam diet menurun tetapi belum
sampai menyebabkan penyediaan besi berkurang melalui beberapa tingkatan sebelum
menjadi anemia. Pada tahap pertama ini, simpanan besi menurun tetapi proses
pembentukan eritrosis belum terganggu. Tahap kedua, besi tidak cukup banyak
tersedia di dalam sumsum tulang untuk pembentukan sel sel darah merah pada
sistem eritropoisis tetapi belum mengakibatkan kadar Hb menurun. Sedangkan
tahap ketiga adalah kadar Hb rendah karena kekurangan besi, oleh karena itu
dikenal tiga tingkat status besi yaitu:
1. Non
anemia non defisiensi besi (normal)
2. Non
anemia tetapi defisiensi besi
3. Anemia
defisiensi besi
Anemia
Defisiensi Besi merupakan masalah utama bagi seemua kelompok umur dengan
prevalensi paling tinggi pada kelompok ibu hamil (sekitar 70%) dan pekerja
berpenghasilan rendah (40%). Prevalensi anemia pada usia sekolah sekitar 30%
dan pada anak balita sekitar 40%.
Status anemia dapat
dihitung dengan menggunakan pemeriksaan biokimia zat besi, yaitu dengan
mengukur kadar hemoglobin dalam darah. Nilai ambang batas (cut off point) penentuan status anemia menurut WHO dapat dilihat
pada tabel 2.3. sedangkan batasan anemia yang dikeluarkan oleh Departemen
Kesehatan, 1995, dalam buku Pedoman
Pemberian Besi bagi Petugas, hal. 2 adalah seperti pada tabel 2.4.
Tabel 2.3 Batasan Hemoglobin Darah (WHO 1975)
Kelompok
|
Batas Nilai Hb (g/dl)
|
Bayi/Balita
Usia
Sekolah
Ibu
Hamil
Pria
Dewasa
Wanita
Dewasa
|
11,0
12,0
11,0
13,0
12,0
|
Tabel 2.3 Batasan Anemia (Departemen Kesehatan)
Kelompok
|
Batas Normal (gram %)
|
Anak
Balita
Anak
Usia Sekolah
Wanita
Dewasa
Laki-Laki
Dewasa
Ibu
Hamil
Ibu
Menyusui > 3 bulan
|
11
12
12
13
11
12
|
BAB
III
PENILAIAN
BIOKIMIA STATUS ZAT BESI
A.
Pengertian
Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan
biokimia merupakan salah satu metode penilaian status gizi secara langsung yaitu
dengan melakukan pengujian laboratoris terhadap kandungan zat gizi dan
substansi kimia lain pada berbagai macam jaringan tubuh, seperti darah, urine,
tinja serta beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Contohnya, untuk
mengetahui kadar zat besi dalam tubuh dapat dilakukan dengan pemeriksaan
biokimia, dimana prosedur pengukurannya akan diuraikan pada pembahasan
selanjutnya.
Pemeriksaan
biokimia dapat memberikan gambaran tentang kadar zat gizi dalam darah, urine
dan organ lain, perubahan metabolik tubuh akibat kurangnya konsumsi zat gizi
tertentu dalam waktu lama serta cadangan zat gizi dalam tubuh. Hasil
pemeriksaan biokimia dapat menunjukkan indikasi perubahan status gizi seseorang
pada tahap awal atau dini.
B.
Keunggulan
dan Kelemahan Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan
biokimia bila dibandingkan dengan pemeriksaan lain dalam penilaian status gizi
memiliki keunggulan-keunggulan, antara lain:
· Dapat
mendeteksi defisiensi zat gizi lebih dini
· Hasil
dari pemeriksaan biokimia lebih objektif, hal ini karena menggunakan peralatan
yang selalu ditera dan pada pelaksanaannya dilakukan oleh tenaga ahli.
· Dapat
menunjang hasil pemeriksaan metode lain dalam penilaian status gizi.
Selain
memiliki beberapa keunggulan, pemeriksaan biokimia juga memiliki beberapa
kelemahan, antara lain:
· Pemeriksaan
biokimia hanya bisa dilakukan setelah timbulnya gangguan metabolisme.
· Membutuhkan
biaya yang cukup mahal.
· Dalam
melakukan pemeriksaan diperlukan tenaga yang ahli.
· Kurang
praktis dilakukan di lapangan, hal ini karena pada umumnya pemeriksaan
laboratorium memerlukan peralatan yang tidak mudah dibawa kemana-mana.
· Pada
peemeriksaan tertentu spesimen sulit untuk diperoleh, misalnya penderita tidak
bersedia diambil darahnya.
· Membutuhkan
peralatan dan bahan yang lebih banyak dibandingkan dengan pemeriksaan lain.
· Belumada
keseragaman dalam memilih reference (nilai normal). Pada beberapa reference
nilai normal tidak selalu dikelompokkan menurut kelompok umur yang lebih rinci.
· Dalam
beberapa penentuan pemeriksaan laboratorium memerlukan peralatan laboratorium
yang hanya terdapat di laboratorium pusat, sehingga di daerah tidak dapat
dilakukan (Susilowati Herman, 1991, Penentuan Status Gizi Secara Biokimia).
C.
Pemeriksaan
Biokimia Zat Besi
Pemeriksaan
biokimia zat besi dilakukan untuk mengetahui besarnya kadar zat besi dalam
tubuh. Ada beberapa indikator laboratorium yang digunakan untuk menentukan
status besi, antara lain:
1.
Hemoglobin
Hemoglobin
adalah parameter yang digunakan secara luas untuk menetapkan prevalensi anemia.
Garby et al. menyatakan bahwa penentuan status anemia yang hanya menggunakan
kadar Hb ternyata kurang lengkap, sehingga perlu ditambah dengan pemeriksaan
yang lain.
Hemoglobin
adalah senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hb dapat diukur secara
kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas
pembawa oksigen pada darah. Kandungan Hb yang rendah dengan demikian
mengindikasikan anemia. Bergantung pada metode yang digunakan, nilai Hb menjadi
akurat sampai 2-3%.
Nilai
normal yang paling sering dinyatakan adalah 14-18 gm/100 ml untuk pria dan
12-16 gm/100 ml untuk wanita (gram/100 ml sering disingkat dengan gm% atau
gm/dl). Beberapa liiteratur lain menunjukkkan nilai yang lebih rendah, terutama
pada wanita, sehingga mungkin pasien tidak dianggap menderita anemia sampai Hb
kurang dari 13 gm/100 ml pada pria dan 11 gm/100 ml untuk wanita.
Metode
pemeriksaan Hb yang sering digunakan di laboratorium adalah sebagai berikut:
1. Metode
Sahli
Pada
metode ini Hb dihidrolisis dengan HCl menjadi globin ferroheme. Ferroheme oleh
oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang segera bereaksi
dengan ion Cl membentuk ferrihemechlorid (hematin/hemin) yang berwarna coklat.
Warna yang terbentuk ini kemudian dibandingkan dengan warna standar (hanya
dengan mata telanjang).
Untuk
memudahkan perbandingan, warna standar dibuat konstan, yang diubah adalah warna
hemin yang terbentuk. Perubahan warna ini dibuat dengan pengenceran sedemikian
rupa sehingga warnanya sama dengan warna standar.
Prosedur
pemeriksaan dengan metode Sahli adalah sebagai berikut:
· Reagensia:
- HCl
0,1 N
- Aquadest
· Alat/Sarana:
- Pipet
hemoglobin
- Alat
Sahli
- Pipet
Pastur
- Pengaduk
· Prosedur
Kerja:
a. Masukkan
HCl 0,1 N ke dalam tabung Sahli sampai angka 2
b. Bersihkan
ujung jari yang akan diambil darahnya dengan larutan desinfektan (alkohol 70%,
betadin,dan sebagainya), kemudian tusuk dengan lancet atau alat lain.
c. Isap
dengan pipet hemoglobin sampai melewati batas, bersihkan ujung pipet, kemudian
teteskan darah sampai ke tanda batas dengan cara menggeserkan ujung pipa ke
kertas saring/kertas tisu.
d. Masukkan
pipet yang berisi darah ke dalam tabung hemoglobin sampai ujung pipet menempel
pada dasar tabung, kemudian tiup pelen-pelan. Usahakan agar tidak timbul
gelembung udara. Bilas sisa darah yang menempel pada dinding pipetdengan cara
mengisap HCl dan meniupnya lagi sebanyak 3-4 kali.
e. Campur
sampai rata dan diamkan selama kurang lebih 10 menit.
f. Masukkan
ke dalam alat pembanding, encerkan dengan aquadest sampai warna larutan
(setelah diaduk sampai homogen) sama dengan warna gelas dari alat pembanding.
Bila sudah sama, baca kadar Hb pada skala tabung.
2. Metode
Cyanmethemoglobin
Pada
metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi methemoglobin
yang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk
sian-methemoglobin yang brwarna merah. intensitas warna dibaca dengan fotometer
dan dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan alat elektronik,
maka hasilnya lebih objektif. Prosedur pemeriksaannya yaitu:
· Reagensia:
- Larutan
kalium ferrosianida (K3Fe(CN)60,6 mmol/l
- Larutan
kalium sianida (KCN) 1,0 mmol/l
· Alat/Sarana:
- Pipet
darah
- Tabung
cuvet
- Kolorimeter
· Prosedur
Kerja:
a. Masukkan
campuran reagen sebanyak 5 ml ke dalam cuvet
b. Ambil
darah kapiler seperti pada metode Sahli sebanyak 0,02 ml dan masukkan ke dalam cuvet di atas,kocok dan diamkan selama 3
ment.
c. Baca
dengan kolorimeter pada lambda 546.
2.
Hematokrit
(HCT)
Hematokrit
adalah volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan cara memutarnya di
dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam persen (%). Setelah
sentrifugasi, tinggi kolom sel darah merah diukur dan dibandingkan dengan
tinggi sel darah penuh yang asli. Persentase massa sel merah pada volume darah
yang asli merupakan hematokrit.
Hematokrit
bergantung sebagian besar pada jumlah sel darah merah, tapi ada beberapa efek
(dalam hal jauh lebih sedikit) dari ukuran rata-rata sel darah merah. Nilai
normal adalah 40-54% untuk pria dan 37-47% untuk wanita. HCT biasanya hampir 3
kali nilai hemoglobin (dengan menganggap tidak ada tanda hipokromia).
· Prosedur
Penentuan Hematokrit
Prosedur
penentuan hematokrit harus dilakukan secara duplikat dengan menggunakan darah
kapiler atau darah vena yang diantikoagulasikan dengan EDTA. Pada saat
menggunakan proses dengan EDTA ini, akan digunakan tabung kapiler bluebanded yang berisi antikoagulan.
Prosedurnya sebagai berikut:
1. Letakkan
satu ujung tabung kapiler dalam setetes darah yang akan diuji, sehingga darah
ditarik masuk ke tabung dengan aksi kapilaritas. Isi tabung dengan 10 mm pada
ujung seberang. Hapus bagian luar tabung ini dengan penghapus.
2. Segel
ujung tabung yang kosong tersebut dengan penutup kecil atau sealer dengan
menempatkan ujung kering tabung hematokrit ke dalam sealant pada posisi
vertikal.
3. Tempatkan
ujung yang ditutup pada tabung kapiler terhadap sisi kepala sentrifugasi dan
tabung dalam celah radial. Catat nomor posisi dari spesimen ini.
4. Ulangi
nomor 1 dan 3 diatas untuk setiap sampul uji.
5. Tutup
erat penutup sentrifugasi pada bagian atas tabung kappiler dengan aman. Tutup
bagian atasnya dan amankan penutupnya. Lakukan sntrifugasi selama 5 menit
dengan kecepatan 10000-15000 rpm. Catat bahwa tabung kapiler balans harus juga
dimuat ke dalam kepala seentrifugasi jika hanya satu tes yang dilakukan.
6. Buka
tabung-tabung dari sentrifugasi.
7. Ukur
tinggi sel darah merah dengan pembaca hematokrit. Jangan memasukkan buffy coat dalam pembacaan bils kolom
eritrosit terbungkus. Jika kurang nyaman, tegakkan tabung kapiler. Ulangi penentuan
jika duplikasi berbeda dengan nilai lebih dari 1% atau jika sampel telah rusak
selama sentrifugasi.
· Perhitungan
Hasil
Hasil
pengukuran dihitung dengan menggunakan rumus:
Hm = tinggi volume
eritrosit yang dimampatkan x 100%
Tinggi total
volume darah
· Interpretasi
a. Nilai
Normal
Menurut Wells Laki-laki : 42-50 %
Wanita : 40-48 %
b. Nilai
Abnormal
- Kurang
dari nilai normal pada anemia
- Lebih
dari nilai normal pada polisithademia
3.
Serum
Besi
Pada
metode ini darah harus dikumpulkan menggunakan tabung terevakuasi bebas elemen
tembusan serta hanya menggunakan air terdeionisasi terdistilasi.
· Prosedur
Serum Besi
1. Berilah
label tabung uji dengan blangko, standar, referensi, pool, dan subjek tes masing-masing.
2. Tambahkan
2,5 ml reagen penyangga besi pada masing-masing tabung.
3. Pada
tabung berblangko tambahkan 0,5 ml standar besi. Pada referensi tambahkan 0,5
ml bahan referensi besi serum. Pada pool
tambah dengan 0,5 ml serum pooled.
Untuk masing-masing subjek uji, tambahkan 0,5 ml serum pada tabung yang cocok.
4. Campurkan
masing-masing tabung uji secara merata dengan vortex mixer.
5. Pindahkan
masing-masing sampel pada sebuah cuvet.
6. Pasang
pada gelombang 560 nm. Nolkan spektrofotometer pada penyerapan nol dengan
blangko reagen.
7. Baca
dan catat penyerapan awal sampel blangko, standar, referensi dan uji.
Kembalikan sampel-sampel itu pada tabung yang sesuai setelah dilakukan
pembacaan. Ini merupakan penyerapan awal (Ainitial) yang diukur agar
dilakukan pertimbangan mengenai perbedaan-perbedaan dalam turbiditas sampel.
8. Tambahkan
0,05 ml reagen warna besi pada masing-masing tabung. Campur masing-masing
tabung dan biarkan berdiri selama kira-kira 10 menit dalam air pada 37o C.
9. Pindahkan
isi masing-masing tabung pada cuvet.
Kemudian baca lagi dan catat penyerapan sampel blangko, standar, referensi, pool dan uji, menggunakan blangko untuk
membuat nol penunjukan spektrofotometer. Ini merupakan penyerapan akhir (Afinal).
· Perhitungan
Hasil
Jika
standar besi berisi 500 µg/dl, konsentrasi besi serum (µg/dl) dari sampel
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Faktor
konversi pada satuan SI (µmol/L)= x0,179
4.
Transferrin
Saturation (TS)
5. Penentuan
kadar zat besi dalam serum merupakan satu cara menentukan status besi. Salah
satu indikator lainnya adalah total iron
binding capacity (TIBC) dalam serum. Kadar TIBC ini meningkat pada
penderita anemia karena kadar besi dalam serum menurun dan TIBC meningkat pada
keadaan defisiensi besi maka rasio dari keduanya (transferrri saturation) lebih sensiif. Rumus tersebut adalah
sebagai berikut:
6. Apabila
TS> 16%, pembentukan sel-sel darah merah dalam sumsum tulang berkurang dan
keadaan ini disebut defisiensi besi untuk eritropoiesis.
7.
Free
Erythrocyte Protophorphyrin (FEP)
Apabila
penyediaan zat besi tidak cukup banyak untuk pembentukan sel-sel darah merah di
sumsum tulang maka sirkulasi FEP di darah meningkat walaupun belum nampak
anemia. Dengan menggunakan fluorometric
assay, maka penentuan FEP lebih cepat digunakan. Satuan untuk FEP
dinyatakan dalam µg/dl darah atau µg/dl darah merah. dalam keadaan normal kadar
FEP berkisar 35 ± 50 µg/dl RBC tetapi apabila kadar FEP dalam darah lebih
bessar dari 100 µg/dl RBC menunjukkan individu ini menderita kekurangan besi.
· Prosedur
Free Erythrocyte Protophorphyrin
Prosedur
Free Erythrocyte Proyophorphyrin adalah sebagai berikut:
1. Tekan
tombol “ON” pada hematofluorometer dan sisipkan blank glass cover slip ke dalam pemegang sampel.
2. Tekan
tombol “MEASURE” dan catat pembacaan pada blank
glass cover slip. Gunakan hanya blank
glass cover slip dengan pembacaan dari 000-006.
3. Gunakan
pipet pasteur plastik untuk menempatkan setetes darah penuh (kira-kira 20 µL)
di atas blank glass cover slip dengan
cara menyebarkannya, sehingga berhubungan pada posisi lubang.
4. Tekan
tombol “MEASURE” dan catat pembacaan. Jangan substraksikan pembacaan paada blank
cover slip.
5. Ulangi
(4) setelah 10-15 detik lewat dan kemudian kesampingkan glass cover slip.
6. Untuk
kontrol darah, ambil setetes darah (sekitar 35 µL) di atas glass cover slip yang bersih dengan menekan botol. Campurkan
tetesan darah dengan ujung botol kemudian pindahkan tutup botol.
7. Tekan
tombol “MEASURE” dan catat pembacaan. Kesampingkan glass cover slip.
8. Periksa
kontrol-kontrol darah pada permukaan dan akhir setiap hari atau setelah 50
pengujian yang bisa diterapkkan. Nilai kontrol rendah, medium dan tinggi harus
ada harga yang dinyatakan.
· Perhitungan
Hasil
Konsentrasi
zink protophorphyrin yang dinyatakan dengan µmol/L RBC dapat dihitung
menggunakan rumus berikut, yang dalam hal ini hematokrit dinyatakan sebagi
fraksi volume dari paket sel darah merah:
Konsentrasi
zink protoporphyrin juga dapat dinyatakan dalam µg/dL darah penuh sedangkan
faktor konversi pada satuan SI (µmol/L) = x 0,0177.
8.
Serum
Ferritin
Untuk
menilai status besi dalam hati perlu dilakukan pengukuran kadar ferritin.
Menurut Cook (dalam Mahdi Anwar Husain, 1989) banyaknya ferritin yang
dikeluarkan ke dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya simpanan
zat besi di dalam hati. Apabila didapatkan serum ferritin sebesar 30 mg/dl RBC
berarti di dalam hati terdapat 30 x 10 mg = 300 mg ferritin.
Untuk
menetukan kadar ferritin dalam darah dapat dilakukan dengan beberapa metode,
yaitu cara radio immuno assay (RIA)
atau dengan cara enzyme-linked immuno
assays (ELISA) yang tidak menggunakan isotop tetapi enzim.
Dalam
keadaan normal rata-rata SF untuk laki-laki dewasa adalah 90 µg/l dan wanita
dewasa adalah 30 µg/l. Perbedaan kadar serum ferritin ini menggambarkan
perbedaan banyaknya zat besi pada tubuh dimana laki-laki tiga kali lebih banyak
daripada wanita. Apabila seseorang mempunyai kadar SF< 12 maka orang
tersebut dinyatakan sebagai kurang besi.
· Prosedur
Penentuan Serum Ferritin
Hal-hal
yang harus diperhatikan sebelum melakukan uji penentuan serum ferritin, yaitu
serum standar, pool, referensi dan
uji semua harus dianalisa secara ganda serta biarkan tracer dan standar untuk menyesuaikan dengan temperatur ruang
sebelum penggunaan. Adapun prosedur pengukurannya adalah sebagai berikut:
1. Berilah
label pada tabung-tabung: backgroun,
blangko, 5.0, 10.0, 25.0, 100, 250, 1000, 2500, pool, reference, dan tabung untuk masing-masing subjek.
2. Tambahkan
50 mL pada masing-masing serum standar, pool,
referensi dan tes pada tabung-tabung yang bersangkutan. Mulai pertama kali
dengan larutan yang paling encer.
3. Campurkan
reagen tracer/Immunobead dengan hati-hati menggunakan batang pengaduk.
Kesampinkan tabung background sampai
langkah 8.
4. Kocok
rak tabung-tabung agar tercampur isinya (vortex
tidak perlu) lalu inkubasikan selama 30 menit pada 21-30o C (suhu
ruang).
5. Tambahkan
3,0 ml saline pada semua tabung (mixing tidak
diperlukan pada tahap ini).
6. Sentrifugasikan
semua tabung selam 10 menit pada kecepatan 1500 x gr/dl pada 4o C
untuk mengendapkan padatan-padatan pada dasar tabung. Proseslah dengan cepat
sampai langkah berikutnya.
7. Ambillah
supernatant pada masing-masing tabung dengan menggunakan peralatan hisap
khusus.
8. Sisipkan
semua tabung (termasuk tabung background)
ke dalam counter sinar gamma dengan
memperhatikan urutan tabung yang sesuai dengan jumlah counter gamma.
9. Hitung
setiap tabung sebentar dengan counter gamma.
· Perhitungan
Hasil
- Catat
perhitungan rata-rata per ment (CPM) untuk masing-masing sampel standar,
kontrol dan uji.
- Substraksikan
harga rata-rata CPM pada standar nol dari CPM tiap-tiap sampel standar, kontrol
dan uji untuk menghasilkan net CPM.
- Plotkan
net CPM masing-masing standar pada Y-axis kertas semilog 4 siklus dan
konsentrasi ferritin yang bersangkutan (ng/ml) pada X-axis.
- Baca
dari kurva standar konsentrasi ferritin (ng/ml) sampel uji dan sampel kontrol
dari net CPM yang berkaitan dengannya. Konversi pada satuan SI (mg/L) = x 1.0
9.
Serum
Unsaturated Iron Binding Capacity (UIBC)
· Prosedur
Penentuan Serum Unsaturated Iron Binding
Capacity (UIBC)
1. Berilah
label pada tabung uji dengan blangko, standar, referensi, pool dan subjek tes masing-masing.
2. Tambahkan
2,0 ml reagen penyangga UIBC pada masing-masing tabung.
3. Pada
blangko tambahkan 1, ml air bebas besi. Pada standar tambahkan 0,5 ml standar
besi plus 0,5 ml air bebas besi. Pada yang rreferensi tambahkan 0,5 ml bahan
referensi serum plus 0,5 ml standar. Sedangkan untuk masing-masing subjek uji
tambahkan 0,5 ml serum pada tabung yang sesuai plus 0,5 ml standar.
4. Campurkan
masing-masing tabung uji secara merata dengan vortex mixer.
5. Pindahkan
masing-masing sampel pada sbuah cuvet.
6. Pasang
dengan panjang gelombang 560 nm. Nol-kan spektrofotometer pada penyerapan nol
dengan blangko reagen.
7. Baca
dan catat penyerapan awal sampel blangko, standar, referensi dan uji.
Kembalikan sampel-sampel itu pada tabung yang sesuai setelah dilakukan
pembacaan. Ini merupakan penyerapan awal (Ainitial) yang diukur agar
dilakukan pertimbangan mengenai perbedaan-perbedaan dalam turbiditas sampel.
8. Tambahkan
0,05 ml reagen warna besi pada masing-masing tabung. Campur tiap-tiap tabung
dan biarkan berdiri selama kira-kira 10 menit dalam air pada 37o C.
Setelah itu, pindahkan isi masing-masing tabung pada cuvet.
9. Baca
lagi dan catat penyerapan sampel blangko, standar, referensi, pool dan uji, menggunakan blangko untuk
membuat nol penunjukan spektrofotometer. Ini merupakan penyerapan akhir (Afinal).
Kadang-kadang perbedaan antara penyerapan akhir dan penyerapan awalmungkin
sangat kecil karena ketidakjenuhan transferrin dengan besi. Jika ini terjadi,
sampel harus diencerkan (1 bagian serum dan 1 bagian air bebas besi) dan tes
diulang. Hasilnya yang dihitung menggunakan persamaan di bawah, kemudian harus
dikalikan dengan 2,0.
· Perhitungan
Hasil
Jika
standar besi berisi 500 mg/dl, kapasitas pengikat besi tidak jenuh dari serum
(mg/dl) sama dengan:
Kapasitas
pengikat besi total (TIBC) (µg/dl) = bsi total pada serum (µg/dl) + kapasitas
pengikat besi tidak jenuh dari serum (µg/dl). Faktor kenversi pada satuan SI
(µmol/L) = 0,179